A.K.Nasution

A.K.Nasution

Kamis, 12 November 2009

kemauan yang BEBAS dan TAKDIR

Oleh: Abey Khoir Nasution.

PERBUATAN, DAYA DAN KEHENDAK MANUSIA
MILIK MANUSIA ATAU MILIK TUHAN?

Dalam sistem teologi (Kaum Mu`tazilah), mereka manusia dipandang mempunyai daya yang besar lagi bebas (Free), sudah barang tentu menganut faham qadariah atau kemauan yang bebas (Free Will). Dan memang mereka juga disebut kaum Qadariah. Al-Jubba`i, umpamanya, menerangkan bahwa manusialah yang menciptakan Perbuatan–perbuatannya. Manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh atas kehendak tuhan dan kemauannya sendiri. Dan daya (al-istita`ah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan. Keterangan–keterangan di atas dengan jelas mengatakan bahwa kehendak untuk berbuat adalah kehendak manusia. Dalam hubungan ini perlu kiranya ditegaskan bahwa untuk terwujudnya perbuatan, harus ada kemauan atau kehendak dan daya untuk melaksanakan kehendak itu, dan kemudian barulah terwujud perbuatan. Di sini timbul pertanyaan, daya siapakah dalam faham Mu`tazilah yang mewujudkan perbuatan manusia, daya manusia atau Tuhan? Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kerena perbuatan manusia adalah sebenarnya perbuatan manusia dan bukan perbuatan Tuhan, maka daya yang mewujudkan perbuatan itu adalah daya manusia sendiri dan bukan daya Tuhan. Jika sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan bukan manusia, perbuatan jahat itu mestilah perbuatan Tuhan dan Tuhan dengan demikian bersifat zalim. Hal ini tak dapat diterima akal.
Pindah ke aliran Asy`ariah, di sini, kerena manusia dipandang lemah, faham qadariah tidak terdapat. Kaum Asy`ariah dalam hal ini lebih dekat kepada faham jabariah daripada ke faham Mu`tazilah. Manusia dalam kelemahannya banyak bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Dari uraian di atas jelaslah kiranya bahwa arti Tuhan menciptakan Perbuatan–perbuatan manusia adalah: “Tuhanlah yang menjadi pembuat sebenarnya dari Perbuatan–perbuatan dari manusia”, dan arti “timbulnya Perbuatan–perbuatan dari manusia dengan perantaraan daya yang diciptakan”, adalah “manusia sebenarnya merupakan tempat bagi Perbuatan–perbuatan Tuhan”. Manusia hanya merupakan tempat berlakunya Perbuatan–perbuatan Tuhan. Mengenai daya untuk mewujudkan Perbuatan–perbuatan, al-Asy`ariah berpendapat bahwa daya itu adalah lain dari diri manusia sendiri, karena diri manusia terkadang berkuasa dan terkadang tidak berkuasa. Daya tidak terwujud sebelum adanya perbuatan, daya ada bersama–sama dengan adanya perbuatan dan daya itu ada hanya untuk perbuatan yang berangkutan saja. Sebagai argumen al-Asy`ariah mengatakan bahwa orang yang dalam dirinya tidak diciptakan Tuhan daya, tidak bisa berbuat Apa–apa. Keterangan tersebut juga mengandung arti bahwa daya untuk berbuat sebenarnya bukanlah daya manusia, tetapi daya Tuhan. Dan dalam menyerang kaum qadariah, al-Asy`ariah memang menentang pendapat mereka dalam hal ini. Selanjutnya keterangan yang lebih tegas dalam hal ini diberikan oleh al-Baqhdadi ketika ia menyebut bahwa perbuatan mengangkat batu berat adalah contoh yang biasa diberikan oleh kaum Asy`ariah. Ada orang yang sama sekali tidak sanggup mengangkat batu itu dan ada pula yang sanggup mengangkatnya. Kalau kedua orang tersebut sama–sama mengangkat batu berat itu, perbuatan mengangkat batu dilakukan oleh orang yang sanggup mengangkatnya, tetapi itu tidak berarti bahwa orang yang tidak sanggup itu tidak turut mengangkat. Demikian pulalah perbuatan manusia. Perbuatan pada hakikatnya terjadi dengan perantara daya Tuhan, tetapi manusia dalam pada itu tak kehilangan sifat sebagai pembuat. Jadi berlainan sekali dengan kaum Mu`tazilah, kaum Asy`ariah berpendapat bahwa kemauan dan daya untuk berbuat adalah kemauan dan daya Tuhan dan perbuatan itu sendiri, sebagai mana ditegaskan oleh al-Asy`ariah, adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia.
Bagi golongan Maturidiah perbuatan mnausia adalah juga ciptaan Tuhan. Dalam hubungan ini, al-Maturidi, sebagai pengikut Abu Hanafih, menyebut dua perbutaan, perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan mengambil bentuk penciptaan daya dalam diri manusia dan pemakaian daya itu sendiri merupakan perbuatan manusia. Daya diciptakan bersama–sama dengan perbuatan, jadi tidak sebelum perbuatan sebagai dikatakan kaum Mu`tazilah. Perbuatan manusia adalah perbuatan manusia dalam arti sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan. Pemberian upah dan hukum didasarkan atas pemakaian daya yang diciptakan. Dengan demikian manusia diberi hukuman atas kesalahan pemakaian daya dan diberi upah atas pemakaian yang benar dari daya. Mengenai soal kehendak, keterangan al-Maturidi tentang upah dan hukuman mengandung arti bahwa kemauan manusialah yang menentukan pemakaian daya, baik untuk kebaikan maupun untuk kejahatan. Karena salah satu benarnya pilihan dalam memakai dayalah maka manusia diberi hukuman atau upah. Manusia tentu tidak dapat mengadakan pilihan, kalau ia tidak bebas, tetapi berada di bawah paksaan daya yang lebih kuat dari dirinya. Sungguhpun demikian, di dalam pendapat aliran Maturidiah, baik golongan Samarkand maupun golongan Bukhara, kemauan manusia sebenarnya kemauan Tuhan. Ini berarti bahwa perbuatan manusia mempunyai wujud atas kehendak Tuhan dan bukan atas kehendak manusia. Manusia melakukan segala perbuatan baik buruk atas kehendak Tuhan, tetapi tidak selamanya dengan kerelaan hati Tuhan. Tuhan tidak suka manusia berbuat jahat. Tegasnya manusia berbuat baik karena kehendak Tuhan dan dengan kerelaan hati Tuhan, sebaliknya betul manusia berbuat buruk atas kehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaan hati Tuhan. Jadi kehendak dalam faham al-Maturidiah bukanlah kehendak bebas yang terdapat dalam faham Mu`tazilah. Dengan perkataan lain kebebasan kehendak manusia hanya merupakan kebebasan dalam memilih antara apa yang disukai dan apa yang tidak disukai Tuhan. Jelas bahwa kebebasan serupa ini lebih kecil dari kebebasan dalam menentukan kehendak yang terdapat dalam aliran Mu`tazilah.
Al- Bazdawi juga menagatakan bahwa di dalam pewujudan perbuatan terdapat dua perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan bagi golongan ini adalah penciptaan perbuatan manusia dan bukan penciptaan daya. Perbuatan ini disebut maf`ul. Perbuatan manusia hanyalah melakukan perbuatan yang diciptakan itu, perbuatan ini disebut fi`il. Dari sini ia mengambil kesimpulan bahwa perbuatan manusia, sungguhpun diciptakan Tuhan, tidaklah perbuatan Tuhan. Golongan ini menyatakan bahwa manusia bebas dalam kemauan dan perbuatannya. Dan memang dalam pendapatnya manusia adalah pembuat fa`il dari perbuatan dalam arti kata yang sebenarnya. Namun demikian, kebebasan manusia dalam faham ini kalaupun ada, kecil sekali. Perbuatan manusia hanyalah melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan. Dan bagaimana sebenarnya perbuatan yang telah diciptakan Tuhan dapat dilakukan manusia tidaklah jelas. Oleh karena ada sebagian orang yang mengkritik faham ini. Dengan kata lain menciptakan perbuatan adalah lebih efektif dari melakukan perbuatan. Tegasnya perbuatan dalam teori ini lebih tepatlah dikatakan perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia. Berikut adalah gambaran dari uraian di atas: Aliran Mu`tazilah dan aliran Maturidiah Samarkand, berpendapat bahwa perbuatan itu dari manusia dengan daya manusia dan kehendak manusia. Pada aliran Maturidiah Bukhara, mereka berpendapat bahwa perbuatan itu dari Tuhan (sebenarnya) manusia (kiasan), dengan daya Tuhan (efektif) manusia? dan dengan kehendak Tuhan. Sedangkan aliran Asy`ariah, berpendapat bahwa perbuatan itu dari Tuhan (sebenarnya) manusia (kiasan), dengan daya Tuhan (efektif) manusia tidak efektif dan kehendak Tuhan. Terakhir adalah aliran Jabariah yang berpendapat bahwa, Perbuatan itu dari Tuhan dengan daya Tuhan dan Kehendak Tuhan pula.
Walaupun dalam faham Qadariah atau Mu`tazilah manusia bebas dalam kehendak dan berkuasa atas Perbuatan–perbuatannya, kebebasan manusia tidaklah mutlak. Kebebasan dan kekuasaan manusia dibatasi oleh hal–hal yang tak dapat dikuasai manusia sendiri, umpamanya saja manusia datang ke dunia ini bukanlah atas kemauan dan kekuasaannya. Kebebasan dan kekuasaan manusia sebenarnya dibatasi oleh hukum alam. Pertama–tama manusia tersusun antara lain dari materi. Materi adalah terbatas dan mau tak mau, manusia sesuai dengan unsur meterinya, bersifat terbatas. Hukum alam ini tak dapat dirubah manusia. Manusia harus tunduk kepada hukum alam.
Kebebasan dan kekuasaan manusia sebenarnya terbatas dan terikat pada hukum alam. Kebebasan manusia sebenarnya hanyalah memilih hukum alam yang akan ditempuh dan diturutinya. Hal ini perlu ditegaskan, karena faham qadariah bisa disalah-artikan mengandung faham, bahwa manusia adalah bebas sebebasnya dan dapat melawan kehendak dan kekuasaan Tuhan. Hukum alam pada hakikatnya merupakan kehendak dan kekuasaan Tuhan yang tak dapat dilawan dan ditentang manusia. (Sumber: Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, 1986).
Termasuk aliran manakah anda? Sesungguhnya, jawabannya dari semua itu terdapat dalam Al-Qur`an dan Hadist. Karena Al-Qur`an dan Hadist merupakan lautan ilmu yang sangat dalam dan sangat luas. Banyak makna-makna yang tersembunyi di dalamnya. Semoga kita termasuk orang-orang yang beruntung, amin ya rabb...
Kiranya sajian ini dapat menumbuhkan rasa keingintahuan dalam menyingkap rahasia-rahasia yang masih banyak bersemayam dalam Al-Qur`an. Dengan kerendahan hati, penyaji mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi menambah perbendaharaan keilmuan bagi kita semua.
E-mail: abeykhoir@gmail.com

manfaat di balik haramnya Babi

Oleh: Abey Khoir Nasution.

MANFAAT DI BALIK HARAMNYA BABI

Babi adalah jenis hewan ungulata yang memiliki muncung panjang, hidung yang lepes dan merupakan hewan yang aslinya berasal dari Eurasia. Babi adalah omnivora, yaitu hewan yang mengkonsumsi baik daging dan tumbuh-tumbuhan. Selain tersebut di atas, babi adalah salah satu mamalia yang paling pintar dibandingkan dengan anjing dan kucing, dan kabarnya lebih mudah untuk dipelihara. Namun, di balik kepintaran hewan yang tidak memiliki leher ini, babi adalah hewan yang paling-paling jorok dan kotor, karena babi suka memakan bangkai dan kotoran manusia. Parahnya lagi, hewan ini juga memakan kotorannya sendiri. Babi suka berada di tempat-tempat yang jorok, kotor, lembab dan babi termasuk hewan yang tidak tahan terhadap sinar matahari serta hewan yang paling rakus, namun pemalas dan tidak suka bekerja mencari makanannya. Hewan yang suka dengan sejenis dan tidak pecemburu ini, adalah hewan yang kerakusannya dalam makan tidak tertandingi hewan lain. Babi memakan semua makanan yang ada di hadapannya, setelah perutnya penuh atau makanannya telah habis, ia akan memuntahkan isi perutnya dan memakannya kembali, untuk memuaskan kerakusannya. Babi juga hewan mamalia satu-satunya yang mengkonsumsi tanah dalam jumlah yang tidak sedikit, terkadang ia juga mengencingi kotorannya dan memakannya jika berada di hadapannya, babi juga memakan sampah yang busuk dan kotoran hewan lainnya.
Dalam bahasa arab, babi dikenal dengan sebutan “khinzir”. Al-Qur`an, yang merupakan kitab suci umat Islam melarang menyentuh apalagi mengkonsumsi babi. Babi hukumnya najis jika disentuh dan haram untuk dikonsumsi oleh umat Islam. Kalangan Kristen juga mengharamkan babi untuk dikonsumsi dalam agama Yahudi dan Gereja Advent hari ketujuh. Banyak ayat-ayat dalam Al-Qur`an yang jelas dan terang menyatakan haramnya babi untuk keperluan apapun, terlebih-lebih jika dikonsumsi. Antara lain dapat lihat Al-Qur`an Surat Al-Baqarah (2): ayat 173, Surat Al-Ma`idah (5): ayat 3, Surat Al-An`am (6): ayat 145 dan selanjutnya Surat An-Nahl (16): ayat 115.
Pantaslah kiranya Allah Swt mengharamkan babi, lihat saja cara ia menghidupi kebutuhannya berbeda sekali dengan kebanyakan hewan lain. Juga banyak yang mengatakan bahwa daging babi terlalu tinggi mengandung zat-zat yang berbahaya bagi tubuh manusia, karena makannya tidak terkontrol. Apa saja di makannya, sehingga tubuhnya pun mengandung segala jenis penyakit.
DR Murad Hoffman, Daniel S Shapiro, MD, seorang Pengarah Clinical Microbiology Laboratories, Boston Medical Center, Massachusetts, dan juga merupakan asisten Profesor di Pathology and Laboratory Medicine, Boston University School of Medicine, Massachusetts, Amerika menyatakan terdapat lebih dari 25 penyakit yang bisa dijangkiti dari babi. Di antaranya: Anthrax, Ascaris suum, Botulism, Brucella suis, Cryptosporidiosis, Entamoeba polecki, Erysipelothrix shusiopathiae, Flavobacterium group IIb-like bacteria, Influenza, Leptospirosis, Pasteurella aerogenes, Pasteurella multocida, Pigbel, Rabies, Salmonella cholerae-suis, Salmonellosis, Sarcosporidiosis, Scabies, Streptococcus dysgalactiae (group L), Streptococcus milleri, Streptococcus suis type 2 (group R), Swine vesicular disease, Taenia solium, Trichinella spiralis, Yersinia enterocolitica dan Yersinia pseudotuberculosis. (http://id.wikipedia.org/wiki/Babi).
Dari banyak kelemahan dan kekurangan-kekurangan hewan babi ini, pasti ada sedikit bahkan mungkin ada banyak manfaat yang terdapat pada hewan jenis ungulata ini. Seperti halnya Allah Swt menciptakan segala sesuatu itu berpasang-pasangan, ada siang dan malam, ada cantik dan jelek, ada laki-laki ada perempuan, ada baik ada buruk, ada kurang ada tambah dan ada haram ada halal serta lain sebagainya. Begitu juga halnya dengan hewan babi, tidak selamanya ia tidak bermanfaat. Sebab, kalaupun hewan babi itu tidaklah bermanfaat, untuk apa Allah Swt menciptakannya tanpa ada maksud dan tujuan. Apalagi babi termasuk hewan yang paling sering disebut Allah Swt dalam firmanNya, karena hanya sedikit sekali hewan yang namanya tercantum dalam Al-Qur`an. Di antaranya, Babi, Nyamuk, Lebah, Anjing, Domba (Kambing) dan lainnya. Pernahkah kita umat Islam berpikir, mengapa babi yang begitu banyak mengandung penyakit karena kerakusannya mengkonsumsi segala bentuk yang ada di hadapannya, jorok, kotor dan pemalas ini diharamkan Allah Swt sampai beberapa ayat dalam surat yang berlainan? Bukannya satu ayat saja sudah cukup? Jawabannya untuk saat ini mungkin belum ada, namun yakinlah suatu saat nanti hal ini akan terpecahkan. Sebab saat ini, hewan babi sudah sering sekali menjadi objek penelitian para ilmuan.
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan (binatang yang waktu menyembelihnya) disebut nama lain selain dari nama Allah. Tetapi barang siapa yang terpaksa (memakannya karena keadaan membahayakan), sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas (makan lebih dari yang diperlukan), maka tidaklah ia berdosa. Sesungguhuhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”, (QS. Al-Baqarah (2): ayat 173).
“Dilarang kamu memakan: 1. bangkai, 2. darah, 3. daging babi, 4. daging binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, 5. daging binatang yang mati karena tercekik, 6. daging binatang yang mati karena dipukul (bukan disembelih), 7. daging binatang yang mati jatuh, 8. daging binatang yang mati karena ditanduk binatang lain (berkelahi), 9. daging binatang yang mati karena diterkam binatang buas, 10. daging binatang untuk persembahan kepada berhala. Juga diharankan bertenung (menentukan nasib) dengan anak panah. Perbuatan itu adalah fasik. Pada hari ini (hari haji wada`) orang-orang kafir telah putus asa untuk menghalangi agamamu. Janganlah kamu takut kepada mereka, takutlah kepada Aku saja. Pada hari ini (hari haji wada`) telah Aku sempurnakan bagimu agamamu dan sudah Aku cukupkan nikmat-Ku dan telah Aku ridai Islam menjadi agamamu. Barang siapa yang terpaksa (memakan daging yang diharamkan) karena kelaparan tanpa ingin berbuat dosa, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”, (QS. Al-Maa`idah (5): ayat 3).
“Katakanlah! Tiada aku peroleh dalam wahyu yang diturunkan kepadaku (makanan) yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali; 1. Mayat (bangkai), 2. Darah yang mengalir, 3. dan daging babi. Semua itu kotor. Atau 4. Kecuali makanan fasik yang disembelih dengan meyebut nama selain nama Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa, bukan disengaja dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”, (QS. Al-An`aam (6): ayat 145).
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan memakan: 1. bangkai, 2. darah, 3. daging babi dan 4. yang disembelih dengan menyebut nama selain dari Allah. Tetapi orang-orang yang dalam keadaan terpaksa (karena kelaparan dan tidak ada makanan lain) dengan tidak sengaja hendak memakan (yang dilarang itu) dan tidak pula melampaui batas (yang diperlukan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”, (QS. An-Nahl (16): ayat 115).
Dari penjelasan ayat-ayat di atas, Allah Swt mengharamkan daging babi, namun Allah Swt juga membenarkan mengkonsumsi daging babi, walaupun ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu dalam keadaan terpaksa. Tentunya hal ini membuka akal pikiran kita sebagai manusia, kenapa Allah Swt mengharamkan babi, namun kenapa pula Allah Swt membolehkan mengkonsumsinya? Jawabannya adalah, saat ini banyak bagian-bagian dari hewan babi yang pernah dan masih menyumbangkan perannya dalam bidang kesehatan.
Dalam dunia farmasi, babi sering dijadikan sebagai model penelitian yang berkaitan dengan manusia, dikarenakan adanya kemiripan sistem penting dalam tubuhnya. Keterlibatan babi dalam industri farmasi ternyata cukup signifikan. Mulai dari cangkang kapsul baik sebagai kapsul lunak, penyumbang organ-organ tubuh dan hormon serta enzimnya. Berikut beberapa bagian dari hewan babi yang pernah dan atau masih menyumbangkan perannya dalam industri farmasi:
Kelenjar adrenal
Kelenjar ini terdapat pada ginjal. Kelenjar ini dapat menghasilkan hormon yang disebut sebagai steroid dan epinephrine. Hormon-hormon yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal babi pernah merupakan sumber penting yang digunakan untuk mengatasi beberapa penyakit yang disebabkan oleh ketidakseimbangan tubuh. Namun sekarang hormon-hormon tersebut sudah banyak diproduksi secara sintetis.


Kelenjar pancreas
Salah satu hormon yang dihasilkan oleh organ ini adalah insulin. Insulin sangat akrab dengan penderita diabetes. Insulin berfungsi untuk mengatur metabolisme gula dalam tubuh. Salah satu sumber insulin yang sudah tidak asing lagi digunakan dalam dunia kedokteran adalah insulin babi. Untuk menghasilkan 1 pound insulin didapatkan dari 60 ribu ekor babi serta diperkirakan mampu mengobati pasien diabetes sebanyak 750-1.000 orang selama setahun . Jika produksi babi pertahun sebanyak 85 juta maka insulin yang mampu dihasilkan selama setahun adalah 1.400 pound. Jumlah tersebut dapat mengobati pasien sebanyak 1, 050 juta–1,4 juta pertahunnya. Jumlah yang cukup spektakuler. Saat ini ada alternatif lain pengganti insulin seperti humulin yang walaupun lebih sedikit mahal, ternyata cukup diminati oleh pasien untuk mengganti hormon insulin babi.
Lambung
Lapisan dalam lambung mengandung protein dan enzim. Bagian ini secara komersial digunakan untuk memproduksi sejenis bahan untuk membantu pencernaan (digestive aids) dan antacid.
Usus halus
Heparin adalah bahan yang ditemukan secara ekslusif pada dinding dalam usus halus (babi). Heparin diklasifikasikan sebagai produk pharmaceutical yang esensial.
Jantung
Jantung babi digunakan untuk keperluan transplantasi untuk mengganti katup jantung yang sudah tidak berfungsi lagi. Katup jantung babi yang digunakan pada manusia, ternyata sangat minimal mengalami penolakan pada tubuh manusia. Hal ini menunjukkan bahwa banyak kemiripan system vital yang terjadi pada manusia dan babi.
Kulit
Kulit dalam bentuk gelatin digunakan dalam industri pembuatan kapsul. Selain itu kolagen yang merupakan bagian dari kulit digunakan untuk menstimulasi pembekuan darah selama operasi.
Darah
Fibrin darah yang diekstraks dari darah babi digunakan untuk membuat asam amino yang menjadi bagian dari cairan infus yang ditujukan untuk memberikan nutrisi bagi pasien yang mengalami beberapa operasi tertentu. Darah babi juga dipergunakan untuk keperluan media microbial dan kultur sel.
(http://www.halalguide.info/2009/04/14/babi-dalam-dunia-farmasi/).
Dari penjelasan singkat di atas, terjawab sudah manfaat di balik haramnya hewan babi yang dikenal sangat jorok, kotor dan pemalas serta rakus ini. yang pengharamannya disebutkan Allah Swt dalam firman-Nya yang tertulis dalam kitab suci Al-Qur`an, dimana disetiap penghujung ayat dari diharamkannya daging babi, Allah Swt juga membolehkan pemanfaatan atas hewan babi pula. Mungkin masih banyak lagi dan akan ada manfaat-manfaat lain yang dilahirkan dari hewan babi. Asal kita mau meneliti tentang ayat-ayat Al-Qur`an yang mengharamkan hewan babi, namun juga membolehkannya (kecuali), dengan keadaan terpaksa. Dengan mengambil objek penelitian langsung pada hewan babi tentunya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui bentuk dan karakteristik segala Mahkluk-Nya.
Mudah-mudahan tulisan sederhana ini bermanfaat bagi kita semua dan menjadi motivasi bagi kita yang haus akan makna-makna yang tersembunyi dari ayat-ayat Al-Qur`an. Komentar dapat dikirimkan melalaui E-mail:
abeynasution@yahoo.co.id.

Hadist

Oleh: Abey Khoir Nasution.

HADIST ITU SUMBER HUKUM ISLAM

Pendahuluan
Banyak dijumpai beberapa istilah lain yang menunjukkan penyebutan Al-Hadist, seperti Al-Sunnah, Al-Khabar, dan Al-Athasr. Dalam arti terminology, ketiga istilah tersebut menurut zumhur ulama (kebanyakan para ulama) hadist, adalah sama dengan terminology Al-Hadist. (Mahmud al Thahan, 1985:15-16 dan Fatuhrahman, 1975:28). Agar kiranya tidak membingungkan dan tidak terjebak dalam keslahpahaman, maka penulis mencoba memapaparkan makna beberapa istilah tersebut di atas secara terminology maupun etimologi.
Pengertian Hadist
Menurut bahasa, Al-Hadist adalah “al-jadid”, adalah sesuatau yang baru. Sedangkan munurut istilah atau terminology, hadist adalah: “Sesuatu yang didasarkan kepada Nabi Saw, baik berupa perkataan, pembukaan, taqrir maupun sifat”. “Taqrir”, adalah perbuatan yang dilakukan oleh sahabat dihadapan Nabi Muhammad Saw dan mengetahuinya, Nabi tidak ikut melakukan perbuatan tersebut, juga tidak melarang sahabat melakukannya. Sedangkan “muhaditsin” (ahli hadist) berpendapat lebih luas lagi, yaitu apa yang disandarkan oleh Rasulullah Saw hanya untuk marfu`, yang disandarkan kepada para sahabat hanya untuk yang mauquf, sedangkan yang maqthu` disandarkan kepada tabi`in.
Pengertian Sunnah
Sunnah dalam pengertian etimologi adalah: “Jalan dan cara yang merupakan kebiasaan (dilalui) yang baik atau yang jelek”. (Nur al-Din al-`athar, 1979:27). Sunnah menurut ahli ushul fiqih adalah: “Segala perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi Saw yang berkaitan dengan penetapan hukum”. Adapun pengertian sunnah secara terminology, yakni: “Segala yang bersumber dari Rasulullah Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat khalqah atau khuluqiyah maupun perjalanan hidupnya sebelum atau sesudah diangkat menjadi Rasul”. (Muhammad Ajaj al-khatib, 1981: 89).
Pengertian Al-Khabar dan Al-Atsar
Secara bahasa Al-Khabar adalah, al-nabn (berita), sedangkan Al-Atsar berarti pengaruh atau sisa sesuatu (baqiyat al-syai`). Menurut zumhur ulama, secara terminology khabar dan atsar memiliki arti yang sama, yakni sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, Sahabat dan Tabi`in. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadist adalah sesuatu yang sandarannya adalah Nabi Muhammad Saw, sedangkan sunnah adalah sesuatu yang sandarannya tidak hanya kepada Nabi, tetapi juga sahabat dan tabi`in, (Nur al-Din `Atshar, 1979: 29).
Posisi dan Fungsi Hadist
Seluruh ulama Islam sepakat bahwa hadist merupakan sumber hukum Islam setelah Al-Qur`an. Banyak dalil-dalil yang menjelaskan masalah tersebut baik dari Al-Qur`an maupun dari Hadist itu sendiri. Sebagaimana Firman Allah Swt dalam surah An-Nisa: 59, dimana artinya menyebutkan: “Hai orang-orang yang beriman, Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalilah ia kepada Al-Qur`an dan sunnahnya. Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya”.
Dalam hadist lain, Nabi Muhammad Saw bersabda: “Aku tinggalkan dan pusakan untukmu, yang kalian tidak akan sesat selamanya apabila berpegang teguh kepada keduanya, kitabullah dan sunnah rasul”.
Fungsi hadist terhadap Al-Qur`an itu sebagai penjelas (al-bayan). Terdapat empat fungsi hadist: Pertama, Bayan Taqrir, adalah hadist berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur`an. Contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat 185, ada kewajiban berpuasa jika melihat bulan dan berbukalah bila melihatnya. Kedua, Bayan Tafsir, adalah hadist yang berfungsi merinci dan menginterprotasi ayat-ayat Al-Qur`an yang mujmal (global) dan berfungsi mengkhususkan terhadap ayat-ayat yang bersifat umum. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. “Shalatlah kamu seperti halnya engkau melihat aku shalat”. Ketiga, Bayan Tasyri`ah, adalah hadist berfungsi menetapkan aturan atau hukum yang tidak didapat dalam Al-Qur`an. Contohnya hadist yang menerangkan tidak dibolehkannya memadu antara bibi dan keponakan. Keempat, Bayan Nasakh, yaitu adanya dalil-dalil syara` yang dapat membatalkan atau menghapuskan ketentuan yang telah ada yang datang kemudian.
Sejarah dan Kodifikasi Hadist
Hadist mulai ditulis secara resmi pada masa Bani Umayyah, yakni pada waktu Umar bin abd Al-Aziz. Para ulama salaf membagi periodesasi hadist dalam beberapa fase, yakni:
1. Masa Rasulullah Saw
Periode ini dinamakan dengan masa wahyu dan pembentukan. Pada periode ini rasulullah melarang para sahabat menulis hadist, karena adanya rasa takut bercampur antara hadist dan Al-Qur`an. Juga agar potensi umat Islam lebih tercurah kepada Al-Qur`an. Namun, walaupun ada larangan, sebagian sahabat ada juga yang berinisiatif menuliskannya dengan berbagai alasan, para sahabat menerima hadist dari rasul melalui dua cara, yakni: Pertama, secara langsung, yaitu melalui ceramah atau khutbah, pengajian atau penjelasan terhadap pertanyaan yang disampaikan kepada rasul. Kedua, secara tidak langsung, yaitu hanya mendengar dari sahabat yang lain atau mendengar dari utusan-utusan, baik utusan dari rasul ke daerah-daerah maupun utusan daerah yang datang kepada rasul. Para sahabat yang banyak menerima hadist adalah: Khulafa Rasyidin, Abdullah bin Mas`ud, Abu Hurairah, Anas bin Malik, Siti Aisyah dan Ummu Salamah.
2. Masa Sahabat
Periode ini dikenal dengan masa pembatasan hadist dan penyelidikan periwayatan. Usaha-usaha para sahabat dalam membatasi hadist dilatarbelakangi oleh rasa khawatir akan terjadinya kekeliruan. Kekhawatiran munculnya karena suhu politik umat Islam secara Internal mulai labil, terutama dalam suksesi kepemimpinan yang selalu menimbulkan perpecahan bahkan fitnah. Oleh karenanya, para sahabat sangat berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadist. Mereka melakukan periwayatan hadist dengan dua cara, yakni: Pertama, dengan cara lafazd, adalah redaksi hadist yang diriwayatkan benar-benar sama dengan yang disabdakan oleh rasul. Kedua, dengan cara maknawi, adalah redaksi hadits yang diriwayatkan berbeda dengan yang disabdakan rasul, namun substansinya sama.
3. Masa Tabi`in
Periwayatan masa tabi`in tidak jauh berbeda pada masa sahabat, namun sedikit berbeda bahwa pada ini Al-Qur`an telah dikumpulkan dalam satu mazhab. Periode ini dikenal dengan penyebaran hadist keberbagai wilayah yang berlangsung pada masa sahabat kecil dan tabi`in besar. Pada masa ini, wilayah Islam sudah sampai ke Syam (Suria), Irak, Mesir, Persia, Samarkand, dan Spanyol. Tokoh-tokoh hadist pada masa ini adalah: Sa`id dan Urwah di Madinah, Ikrimah dan Atha bin Abi Rabi`ah di Mekkah, Ibrahim al-Nakhn`I di Kuffah, Muhammad bin Sirin di Bashrah, Umar bin abd al-Aziz di Syam, Yazid bin Habib di Mesir, dan Wahab bin Mumabih di Yaman.
Unsur-unsur Hadist
Adapun yang menjadi Unsur-unsur daripada hadist dapat diklasifikasikan dalam tiga bentuk, yakni:
1. Sanad
Menurut bahasa, sanad ialah sandaran atau sesuatu yang dijadikan sandaran. Menurut istilah ada beberapa pengertian sebagai berikut: Pertama, Silsilah orang-orang yang meriwayatkan hadist yang menyampaikannya kepada matan hadist. Kedua, Silsilah para rawi yang menukilkan hadist dari sumbernya pertama.
2. Matan
Menurut istilah, matan adalah lafazd-lafazd hadist yang di dalamnya mengandung makna-makna tertentu.
3. Rawi
Yaitu orang yang meriwayatkan/memberitakan hadist. Sebenarnya antara sanad dan rawi adalah dua istilah yang tidak dapat dipisahkkan. Orang yang menerima hadist kemudian menghimpunnya dan membukukannya dalam satu buku disebut “rawi”. Sedangkan orang yang menerima hadist dari sumber yang pertama (rasulullah), itulah yang disebut dengan “sanad”.

Dengan segala kekuarangan-kekurangan dalam tulisan ini, penulis memohon keringanan maaf kepada pembaca. Untuk itu kiranya penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun, demi meningkatkan pengetahuan bagi penulis khususnya dalam bidang keagamaan. Karena sesungguhnya ilmu itu, bagai lautan yang tidak bertepi.
E-mail, abeykhoir@gmail.com