A.K.Nasution

A.K.Nasution

Kamis, 30 Juli 2009

Tanpa Judul [Cerpen: Abey Khoir Nasution]

Tanpa Judul
Cerpen: AbeyKhoir N.


Pagi itu, disebuah perkampungan yang memiliki segudang lahan pertanian, suasana tampak sangat tenang. Pohon-pohon diam seakan mereka sedang berkagum, daun-daun yang kering enggan menjatuhkan dirinya ke bumi seakan-akan mereka takut pada bumi, rumput dan ilalang berhenti menari-nari seperti hari-hari yang mereka habiskan selama hidupnya hanya dengan menari dan menari, mereka semua sepertinya mengetahui kedatangan malaikat penjemput nyawa. Bahkan matahari yang biasanya sudah menyirami bumi dengan sinarnya yang begitu terang, kini tertutup awan mendung. Betapa alam waktu itu turut berduka atas meninggalnya seorang ayah yang tinggal disebuah rumah tua yang terletak disudut perkampungan yang asri dan sejuk itu. Seluruh mata penduduk kampung itu, tertuju pada rumah tua yang hanya dihuni oleh seorang ayah dan seorang anak perempuan yang mulai beranjak dewasa. Rumah yang biasanya tidak pernah ramai itu, kini tiba-tiba menjadi ramai dengan hadirnya pelayat-pelayat yang mengenakan peci dan mukena. Yaaa! benar, malaikat penjemput nyawa itu memang singgah kerumah tua tersebut dan mengajak seorang ayah yang sedang sakit itu, untuk kembali ke asalnya. Sungguh kepergian seorang ayah itu diiringi dengan tangisan dari anak perempuannya serta alunanan syair-syair yang sangat indah dari mulut-mulut pelayat yang membacakan ayat-ayat suci Al-Qur`an. Sesungguhnya kita semua dari Allah Swt, dan akan kembali pula kepada Allah Swt. Allahuakbar, Allahuakbar.
Baru saja sang surya mulai menyirami sinarnya ke bumi, dan pohon-pohon mulai bekerja membuat makanannya sendiri dengan bantuan sinar matahari, daun-daun yang kering kini sudah berani menjatuhkan dirinya ke bumi, rumput dan ilalang pun tak mau ketinggalan, mereka ikut menari-nari, serta alunan Adzan Zhuhur yang begitu menyentuh hati saling bersahutan. Para pelayat pun terlihat sibuk untuk menshalatkan jenazah seorang ayah tadi, yang baru selesai dimandikan.
Waktu terasa begitu cepat berputar, terlihat beberapa orang yang telah selesai membuatkan rumah untuk jenazah seorang laki-laki tua yang pagi tadi nyawanya sudah dibawa ke alam yang kita semua akan datangi kelak, oleh malaikat penjemput nyawa. Iring-iringan jenazah diramaikan dengan syair-syair yang begitu sangat indah dari para pelayat yang ikut dalam rombongan itu, diantara syair-syair Al-Qur`an itu terdengar suara tangisan dari anak perempuan yang ayahnya sudah berada dalam kerenda, sambil berkata;
“Ayah, kenapa engkau meninggalkan aku sendirian, kenapa ayah?”.
Akhirnya rombongan jenazah sampai kepekuburan yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah yang baru saja kedatangan tamu yang diutus Allah Swt tadi. Setelah jenazah selesai disemayamkan, pelayat tidak lupa memberikan doa-doa buat seorang ayah yang meninggalkan puterinya sendiri itu. Anak perempuan itu masih saja menangis seraya berkata;
“Ayah, kenapa engkau meninggalkan aku sendirian, kenapa ayah? kenapa ayah?”.
Akhirnya setelah dituntun seorang pelayat, anak perempaun itu mengikuti rombongan para pelayat kembali dengan terus menatap makam ayahnya, seraya berkata;
“Ayah, ayah, ayah, jangan tinggalkan aku sendirian ayah”.


Keesokan paginya, anak perempuan yang malang itu terlihat melintasi rumah-rumah warga, ia hendak menuju pekuburan, dengan rambut terburai tak terurus dan tidak memakai alas kaki. Ternyata benar, ia mengunjungi rumah baru ayahnya yang baru semalam diantar oleh pelayat-pelayat. Sesampainya didepan gundukan tanah yang masih basah itu, anak perempuan itu kembali menangisi ayahnya yang telah berpulang kerahmatullah terlebih dahulu, dan ia langsung menjatuhkan pipinya ketanah yang dipenuhi warna-warni bunga yang sudah layu. Diantara tangisan-tangisan kecil itu, terdengar dengan jelas ratapan yang keluar dari mulut anak perempuan itu;
“Ayah, bagaimana keadaan ayah tinggal sendirian dalam kubur yang gelap gulita tanpa pelita dan tanpa pelipur?,
Ayah, kemarin malam kunyalakan lampu untuk ayah, semalam siapakah yang menyalakannya? Yah, kemarin masih kubentangkan tikar, kini siapa yang melakukannnya, ayah?,
Kemarin malam aku masih memijat kaki dan tangan ayah, siapakah yang memijat semalam, ayah?,
Kemarin aku yang memberi minum, siapa yang memberi minum ayah tadi malam?, jawab ayah, jawab!,
Ayah, kemarin malam aku membalikkan badan ayah dari sisi yang satu ke sisi yang lain agar ayah merasa nyaman, siapakah yang melakukannya semalam, ayah?,
Kemarin malam aku yang menyelimuti ayah, siapakah yang menyelimuti ayah semalam?,
Kemarin malam ayah memanggilku dan aku menyahut penggilanmu, lantas siapa yang menjawab panggilan ayah tadi malam?,
Kemarin aku suapi ayah saat ayah hendak makan, siapakah yang menyuapi semalam, ayah?,
Kemarin malam aku memasakkan makanan buat ayah makan, tadi malam siapakah yang memasakkan buat ayah?, siapa ayah?, siapa?”.
Mendengar ratapan anak perempaun malang itu, burung-burung yang hinggap dipepohonan sekitar pekuburan tidak lagi menyanyi, seakan mereka mengerti akan kesedihan yang dialami anak perempuan itu.
“Wahai anak perempuan malang, jangan berkata seperti itu”.
Betapa terkejutnya anak perempuan itu saat mendengar ucapan yang terdengar dari suara khas seorang laki-laki yang tidak ada kelihatan.
“Siapakah engkau gerangan? Adakah engkau malaikat yang menjemput ayahku?”, gumam anak perempuan itu.
Akhirnya, keluarlah sosok laki-laki muda dari balik pagar pekuburan itu, yang terlihat masih menyisahkan air mata di pipinya. Laki-laki muda yang dikenal sebagai penjaga masjid dikampung itu, juga turut menangis mendengar ratapan anak perempuan itu.
“Bukan, aku bukan malaikat”. Sahut laki-laki yang memang sudah mengikuti anak perempuan malang itu dari tadi. Laki-laki itu mendekati anak perempuan itu, dan berkata;
“Ucapkanlah kepada ayahmu seperti ini; Ayah, kuhadapkan engkau ke arah kiblat, apakah engkau masih seperti itu ataukah telah berubah, ayah?,
Wahai ayah, ulama mengatakan bahwa yang mati dinyatakan imannya, ada yang menjawab dan ada juga yang tidak menjawab. Bagaimana dengan engkau, ayah? Apakah engkau bisa mempertanggungjawabkan imanmu, ayah? Ataukah engkau tidak berdaya?,
Ulama mengatakan bahwa mereka yang mati akan diganti kain kafannya dengan kain kafan dari surga atau neraka, engkau mendapatkan kain kafan dari mana, ayah?,
Ulama mengatakan bahwa kubur sebagai teman surga atau jurang menuju neraka. Kubur kadang membelai orang mati seperti kasih ibu, atau kadang menghimpitnya sebagai tulang-belulang berserakan. Apakah engkau dibelai atau dimarahi, ayah?,
Ayah, kata ulama, orang yang dikebumikan menyesal mengapa tidak memperbanyak amal baik. Orang yang ingkar menyesal dengan tumpukan maksiatnya. Apakah engkau menyesal karena kejelekanmu ataukah karena amal baikmu yang sedikit, ayah?,
Jika kupanggil, engkau selalu menyahut. Kini aku memanggilmu di atas gundukan kuburmu, lalu mengapa aku tak bisa mendengar sahutanmu, ayah?,
Ayah, engkau sudah tiada, aku sudah tidak bisa menemuimu lagi hingga akhir kiamat nanti. Wahai Allah, janganlah kau rintangi pertemuanku dengan ayahku di akhirat kelak”.
“Sungguh indah sekali ratapanmu kepada ayahku”, sahut anak perempuan yang masih menangis di atas gundukan tanah itu.
“Betapa baik bimbingan yang telah kuterima, engkau ingatkan aku dari lelap lalai” , sambung anak perempuan malang itu.
Sembari mengangkat anak perempuan itu, laki-laki penjaga masjid itupun menuntunnya pulang. Mereka akhirnya meninggalkan pekuburan dengan tangisan kecil, sambil sekali-kali melihat arah pekuburan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar